Jumat, 29 Februari 2008

Langkah Awal berMental Entrepreneur *

Didalam suatu bentuk kewirausahaan, pengusaha dan karyawan merupakan mitra yang keduanya bersinergi menjalankan bisnis. Sudah dapat dipastikan pengusaha (business owner) bermental entrepreneur, namun bagaimana dengan para karyawannya? Tidak semua karyawan memiliki mental entrepreneur, seperti halnya dengan saya yang saat ini adalah seorang TDB (karyawan) di sebuah perusahaan retail bahan bangunan di Jakarta, sebagai seorang anak pegawai negeri sipil dan tinggal dilingkungan perumahan yang rata-rata juga berprofesi sebagai orang kantoran secara tidak langsung telah membentuk mindset tentang bagaimana MEMPEROLEH pekerjaan yang mapan,bagaimana MEMPEROLEH posisi yang aman dan nyaman ditempat kerja, dan bagaimana MEMPEROLEH-MEMPEROLEH yang lainnya. Artinya selalu berfikir tentang Tangan Di Bawah. Sedangkan karyawan yang bermental entrepreneur kemungkinan besar karena tumbuh di lingkungan keluarga atau komunitas kewirausahaan yang sadar atau tidak sadar telah membentuk mental entrepreneur di dalam diri mereka.

Bagaimana cara menumbuhkan mental entrepreneur? Pertanyaan ini tidak pernah terlintas di dalam benak saya sebelumnya, mungkin karena latarbelakang lingkungan sosial saya. Pertanyaan ini juga yang mungkin menjadi pertanyaan awal seseorang sebelum pindah quadrant menjadi seorang entrepreneur. Seperti ulasan dari seorang pengusaha sukses asal Surabaya Raden Mas Wuryanano dalam Milad 2 Komunitas Tangan Di Atas (TDA) tanggal 27 Januari 2008 yang lalu tentang kiat sukses pindah quadrant salah satunya adalah menyiapkan mindset sebagai entrepreneur.

Menumbuhkan mental entrepreneur dapat dilakukan dengan salah satu caranya kita mengikuti atau masuk dalam komunitas entrepreneur seperti misalnya Komunitas Tangan Di Atas dan atau komunitas-komunitas bisnis lainnya. Mengapa? Karena cepat atau lambat kita akan malu sendiri kalau kita tidak memiliki bisnis (hal ini sangat saya rasakan), dan selanjutnya kita berani untuk memulai berbisnis, aamiin.

* just for TDB

Senin, 18 Februari 2008

Goes to d’biggest bookstore @ South-East Asia


Hari Ahad ini saya baru dapat menyempatkan diri untuk menjelajahi belantara buku di toko buku yang konon disebut yang paling besar se-Asia Tenggara, ‘dia’ adalah toko buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur. Setelah direnovasi dan diperluas menjadi 7,097 m2 , re-openingnya diresmikan oleh Presiden SBY pada hari Jum'at, 28 Desember 2007 lalu. Toko buku ini sekarang memang jauh lebih besar dari yang saya lihat saat saya masuk toko ini satu tahun yang lalu (hehehe sudah kelamaan, sekarang biasanya saya ke Gramedia Mal Daan Mogot karena dekat dengan kantor), koleksinya bisa dibilang lengkap dengan menyediakan 130.379 judul buku, tapi kalau saya perhatikan banyak terjadi pengulangan penempatan koleksi buku, artinya beberapa buku yang sudah didisplay di satu tempat ada lagi dibeberapa tempat yang lain (mungkin karena area yang terlalu luas atau mungkin juga koleksinya yang masih harus ditambah lagi).

Pada awal re-openingnya, toko buku Gramedia Matraman memberikan potongan harga sampai 30 persen untuk buku-buku koleksinya. Terlepas dari kontroversi (dari hasil investigasi seorang kutu buku yang sekaligus juga sebagai penjual buku online) yang menyebutkan bahwa sebenarnya yang benar-benar didiscount hanya buku-buku terbitan Kelompok Gramedia sedangkan yang lainnya malah jauh lebih mahal harganya dibanding membeli ditempat lain ataupun beli via online meskipun sudah didiscount, tempat ini selalu ramai dikunjungi apalagi pada saat hari libur, baik anak-anak sekolahan, kuliahan, orang kantoran maupun keluarga yang mungkin sekedar iseng karena penasaran dengan slogannya terbesar se-Asia Tenggara.

Datang ke Gramedia Matraman memang saya niatkan untuk membeli buku ataupun majalah-majalah kewirausahaan, salah satunya adalah bukunya pak Faif Yusuf ‘Rahasia Jadi Entrepreneur Muda’ yang sebelumnya sebenarnya sudah hampir saya beli. Ceritanya, di acara MILAD 2 TDA 27 Januari 2008 yang lalu selepas sholat dluhur saya mampir disalah satu ‘meja stand’ yang cukup ramai dikerumuni peserta Milad, ternyata disitu di jual kaos ‘Raxzel-nya pak Try Atmojo’.”Ups…tertarik juga neh!” pikir saya dalam hati, tapi disebelahnya saya lihat bukunya pak Faif Yusuf sudah ‘nyolong’ start dijual sebelum launching, “Wah harus beli juga neh, sekalian minta tanda tangan pak Faif ” sahut saya dalam hati lagi. Ternyata pilihannya tidak hanya sampai disitu saja, yang lebih menarik kuat saya adalah pendaftaran peserta TDA Entrepreneur Makers angkatan I yang jumlahnya sangat terbatas, hanya 20 orang. Saya pikir saya bisa dapat ketiganya, tapi ternyata dompet tidak mendukung niat mantap saya tersebut. Saat itu saya hanya membawa uang 200 ribu sementara down payment keikutsertaan TDA EM 200 ribu juga, maka keputusannya adalah mendaftar sebagai peserta TDA Entrepreneur Makers angkatan I karena selain terdaftar sebagai peserta TDA EM saya juga memperoleh kaos Raxzel, artinya dua hal yang saya inginkan sudah terwujud, tinggal satu hal yang masih jadi ‘hutang’ untuk saya wujudkan yaitu beli bukunya pak Faif Yusuf. Dan alhamdulillah hari ini saya sudah melunasinya.

Tidak terasa sudah lebih dari empat jam saya ‘muter-muter’ lihat dan baca-baca di toko buku terbesar se-Asia Tenggara itu, yang terasa capek banget adalah kaki karena beberapa tempat duduk yang disediakan selalu ‘laris’ diduduki para pengunjung. Setelah membeli beberapa buku yang menarik hati untuk saya pelajari, saya sepakat mengundurkan diri dari toko Gramedia Matraman untuk pulang.

Sabtu, 09 Februari 2008

'menyelingkuhi' Tuhan

Kita semua pasti sudah tahu bahwa kelak di hari penghisaban yang ditimbang dari kita adalah amal dan ibadah kita selama hidup di alam fana ini. Namun hiduppun tidak boleh larut hanya untuk beribadah, harus ada keseimbangan habblum minnallah dan habblum minnanas, idealnya balance antara urusan dunia dan akhirat.

Yang terjadi saat ini keseimbangan itu lambat laun memudar, bergeser dari titik tengah keseimbangan menuju arah keduniawian. Hal ini banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta. Bahkan tidak sedikit orang berangkat dari daerah menjadi kaum urban di kota besar untuk bekerja awalnya secara spiritual kuat, tapi kehidupan sosial kota besar telah menggesernya kearah yang lemah.


Kerja adalah ibadah, tapi bagaimana kalau kesibukan kerja seringkali secara tidak sengaja atau sengaja membuat kita melewatkan waktu sholat atau menggugurkan ibadah yang lain?. Kalau sudah begitu, apakah bukan namanya kita menyelingkuhi Tuhan? Selingkuh dengan kehidupan duniawi yang notabene semua itu adalah anugerah dan nikmat_Nya? na’udzubillahi mindzalik.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hadiid(57) ayat 20 : “Katakanlah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,…Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Jumat, 08 Februari 2008

BLOG ‘menyiksa’ saya




Belum lebih dari dua bulan saya berkenalan dengan ‘si BLOG’(bisa dibilang saya gaptek dengan hal ini), berawal dari membuka salah satu blog dari seorang founder komunitas Tangan Di Atas ( TDA ), blog Badroni Yuzirman di www.roniyuzirman.blogspot.com, kemudian ngelink ke www.blogger.com dan selanjutnya dengan “tiga langkah mudah”nya (ciptakan account-beri nama blog-pilih sebuah template), saya langsung mempunyai blog waktu itu. Namun belum bisa langsung posting karena masih bingung mau menulis apa dan mungkin saya termasuk orang yang perfectionis jadi maunya kalau posting sekalian tulisan yang bagus,hehehe…padahal akhirnya postingan pertama saya pun seadanya. Seorang teman menyarankan saya kalau mau menulis blog atau posting jangan kebanyakan mikir, tuangkan saja yang pengen ditulis dan akhirnya keluarlah postingan pertama saya tanggal 26 Januari 2008 yang lalu.

Sekarang ‘penyakit’ pengen postingan bagus itu kembali kambuh, alhasil sampai sekarang baru tiga kali saya bisa posting. Rasanya senang sekaligus ngiri kalau membaca blog orang-orang dengan postingan yang bagus-bagus, mereka mampu memberi ilmu, memberi motivasi bahkan kadang kontroversi. Saya yakin banyak orang mempunyai keinginan sama seperti saya, yaitu membuat tulisan yang mampu menjadi magnet untuk orang lain, atau bisa juga disebut postingan yang ‘nendang’. Konon kalau postingan kita mau dibaca banyak orang, buatlah dulu judul tulisan yang membuat orang penasaran selanjutnya baru isinya.

Hal tersebut yang membuat saya merasa ‘tersiksa’ setelah mengenal blog, kenapa? Tersiksa dalam tanda kutip, karena kebiasaan saya sebelumnya yang tidak senang menulis sekarang ‘memaksa’ saya untuk selalu pengen menulis. Sekarang hampir tiap hari saya berfikir untuk menulis sesuatu yang ‘nendang’ dengan segala kekurangan dan keterbatasan saya. Meskipun sampai saat ini belum banyak yang saya posting, tapi alhamdulillah efek positif dari mengenal ‘si BLOG’ secara tidak langsung membuat saya sekarang lebih senang untuk membaca buku. Blog telah ‘menyiksa’ saya untuk menulis, membaca dan belajar.

Rabu, 06 Februari 2008

1 SEMESTER 3 SKS (SEbelum MEnyeSal dan TERlambat Sudahkah Kita Sadar, Sudahkah Kita Sopan, Sudahkah Kita Santun)



Suatu siang di hari Ahad, kurang lebih lima tahun yang lalu (aku lupa tanggal dan bulannya), telepon di rumah induk tempat tinggalku berdering, waktu itu aku menumpang tinggal di rumah salah satu teman. Sesaat kemudian bapak temanku memanggilku, “mas Heri ono telpon seko bapak Jogja!”( mas Heri ada telepon dari bapak Jogja!). Ternyata dering telepon tadi untukku, dengan sedikit berlari kecil dari kamar tidur kuraih gagang telepon dari tangan bapak. Kebetulan beliau sedang berada di ruang tengah menikmati buku bacaan favoritnya.


Lima belas menit berlalu percakapanku dengan bapak plus ibu dari Jogja terasa begitu cepat, maklumlah sudah hampir seminggu terakhir kami tidak online. Memasuki menit keduapuluh setelah cukup puas mengobati dahaga rindu, ibu mengakhiri percakapan kami dengan tidak lupa (seperti biasanya) memberi nasehat untuk selalu berhati-hati, menjaga kesehatan dan sholat jangan sampai terlewatkan.

Saat kuberanjak dari tempatku menelpon dengan tidak lupa mengucapkan terimakasih, bapak mengajukan satu pertanyaan kepadaku:

Sopo sing nelpon, mas Heri ?” (Siapa yang menelpon, mas Heri ?) dalam hati kubertanya heran: “Bukannya beliau sudah tahu ya telepon dari mana tadi?”
Sesaat kemudian kujawab:

Saking bapak kalih ibu saking Jogja pak.” (Dari bapak dan ibu dari Jogja pak).
Komentar bapak pun segera meluncur seiring jawabanku tersebut:

Wes kenal suwe toh? kok rengomong ming koyo karo koncone wae.” (Sudah kenal lama toh? Kok berbicaranya cuma seperti bicara dengan temannya saja.)

Sejenak kuterhenyak mendengarnya, karena kutahu maksud komentar beliau. Aku sangat sadar kalau selama ini kebiasaanku berbicara dengan bapak dan ibuku selalu memakai bahasa jawa ngoko (bahasa jawa level terendah - bahasa yang biasa aku gunakan berbicara dengan teman-teman sepadanku), padahal bahasa jawa kromo (bahasa jawa halus) yang semestinya kugunakan.

Mulai detik itu kupatrikan dalam hati untuk selalu menggunakan bahasa jawa kromo setiap berbicara dengan bapak dan ibuku. Dan alhamdulillah sampai saat ini aku masih kuat memegang janji hatiku tersebut. Mungkin sudah banyak orang melakukannya, tapi pasti masih banyak juga mereka yang belum atau tidak melakukannya, bahkan sering kali kita masih mendengar seorang anak bertindak kasar atau membentak dengan bahasa yang kasar kepada orang tuanya, na’udzubillahi mindzalik.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghargai orang tua kita, namun kalau ditanya berapa nominalnya pasti kita tidak pernah akan mampu menemukan jawabannya. Tidak sedikit pula cara yang dapat dilakukan untuk menghormati orang tua kita, atas segala pengorbanan, jerih payah dan kasih sayangnya mulai dari kita terlahir di alam fana ini hingga sekarang dewasa, bahkan saat kita masih di kandungan ibu. Didalam Al Qur’an Surat Luqman ayat 14, Allah SWT berfirman: “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Dengan bersikap sopan, santun dan berbicara dengan tutur kata yang halus, percayalah bahwa hal tersebut adalah ‘kenikmatan’ yang takterhingga untuk orang tua kita. Membiasakan diri untuk selalu berbicara dengan bahasa dan tutur kata yang halus bukanlah suatu pekerjaan yang susah bila dilandasi dengan niat yang tulus, tapi sudahkah kita melakukannya sebelum menyesal karena tidak pernah mencobanya? it’s never to late to do it !